Friday, November 14, 2014

TEORI KOMUNIKASI MASSA dan TEORI REPRESENTASI


TEORI KOMUNIKASI MASSA dan TEORI REPRESENTASI
Teori Komunikasi Massa
Wilayah teori media dicirikan dengan berbagai perspektif yang berbeda. Pendekatan tersebut cenderung berbeda antara aliran kiri (progresif atau liberal) dan kanan (konservatif). Teori aliran kiri (leftist theory) misalnya, sangat kritis terhadap kekuatan media yang berada di tangan Negara atau perusahaan besar, sementara konservatif menunjuk kepada ‘bias liberal’ dari pemberitaan atau kerusakan yang dilakukan oleh media terhadap nilai-nilai tradisional. Dimensi dan jenis-jenis teori media dapat dikelompokkan dalam empat pendekatan besar yang terdiri dari dua dimensi yakni : media sentris (media-centric) versus masyarakat sentris (society-centric); serta kulturalis (culturalist) versus materialis (materialist). Pendekatan yang pertama secara vertikal yakni pendekatan ‘media sentris’ (media-centric) dangan masyarakat sentris (society-centric), memberikan lebih banyak otonomi dan pengaruh atas komunikasi dan berkonsentrasi pada ranah aktivitas media itu sendiri. Teori media sentris melihat media massa sebagai penggerak utama dalam perubahan social yang didorong maju oleh perkembangan yang sangat menggiurkan dari teknologi komunikasi. Teori ini juga lebih memperhatikan konten berbagai media diantaranya ; media cetak, media audiovisual, media interaktif, dan sebagainya. Teori masyarakat sentris secara umum memandang media sebagai cerminan kekuatan politik dan ekonomi. Pendekatan kedua, yakni garis horizontal yang membagi antara para teoretikus yang memiliki kepentingan (serta keyakinan) terletak pada lingkup kebudayaan dan ide, dan menekankan kekuatan serta faktor materi. Pembagian ini mirip dimensi tertentu lainnya: humanis versus ilmiah; kualitatif versus kuantitatif; ddan subjektif versus objektif. Semua perbedaan ini merefleksikan kebutuhan akan pembagian kerja dalam wilayah luas serta faktor multi disipliner dari studi media, mereka juga sering melibatkan ide yang saling bersaing dan berlawanan dalam mengajukan pertanyaan, melakukan penelitian, dan memberikan penjelasan. Kedua alternatif ini tidak terikat satu sama lain dan dapat diidentifikasikan dalam empat perspektif yang berbeda atas media dan masyarakat (McQuail, 2012:12-14).
Keempat perspektif tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
      Media Sentris

         Media Kulturalis                       Media Materialis
       Kulturalis                                                                              Materialis
          Sosialis Kulturalis                 Sosialis Materialis

      Society Sentris
Gambar 2.2. Dimensi dan jenis-jenis teori media.
Sumber : Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa, Salemba Humanika; 2012:13)

Keempat tipe perspektif ini dapat dirangkum sebagai berikut:

  1. Perspektif media kulturalis. Pendekatan ini mengambil perspektif anggota khalayak dalam hubungan dengan genre atau contoh budaya media tertentu (misalnya acara reality-show atau jaringan sosial) dan mendalami makna subjektif dari pengalaman dalam konteks tertentu.
  2. Pendekatan media materialis. Penelitian dalam tradisi ini menekankan pada pembentukan konten media dan menekankan pada efek potensial karakteristik media yang berkaitan dengan teknologi dan hubungan sosial dari penerimaan dan produksi  yang dihubungkan dengan hal tersebut. Pendekatan ini juga menekankan pengaruh dari konteks structural dan dinamika atau produksi tertentu.
  3. Perspektif sosial kulturalis. Inti dari pandangan ini menaruh media dan pengalaman media di bawah kekuatan yang lebih besar dan dalam yang mempengaruhi masyarakat dan individu. Isu sosial dan budaya yang dianggap lebih mendominasi daripada isu ekonomi politik.
  4. Perspektif sosial materialis. Pendekatan ini biasanya dihubungkan dengan pandangan kritis terhadap kepemilikan dan control media yang pada akhirnya membentuk ideologi dominan yang disiarkan atau didukung oleh media[1].

Komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (mass communication is message communicated through a mass medium to large number of people), media komunikasi yang termasuk dalam media massa diantaranya; radio, televisi, surat kabar, majalah, internet, dan media film. Film yang menjadi media komunikasi massa adalah film bioskop (Ardianto, Komala & Karlinah, 2009:3).
McQuail (2012:17-19) mengatakan bahwa komunikator dalam komunikasi massa bukanlah satu orang melainkan sebuah organisasi formal. Komunikasi massa menciptakan pengaruh secara luas dalam waktu singkat kepada banyak orang. Komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa atau komunikasi dengan menggunakan media massa. Massa di sini adalah kumpulan orang-orang yang hubungan antar sosialnya tidak jelas dan tidak mempunyai struktur tertentu.
Kehadiran media massa yang secara serempak di berbagai tempat telah menghadirkan tantangan baru bagi para ilmuan berbagai disiplin ilmu. Para pakar ilmu komunikasi berpendapat bahwa komunikasi massa adalah suatu kegiatan komunikasi yang mengharuskan adanya keterlibatan dari unsur-unsur yang ada di dalamnya dan saling mendukung serta bekerja sama, untuk terlaksananya kegiatan komunikasi massa ataupun komunikasi melalui media massa. Kemudian para pakar ilmu komunikasi membatasi pengertian media massa pada komunikasi dengan menggunakan media massa, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, internet, dan film.
Sebagai salah satu media komunikasi massa, film bisa dimaknai sebagai pesan yang disampaikan dalam komunikasi filmis atau mampu memindahkan ruang dan waktu agar khalayak atau penontonnya bisa  mudah memahami hakikat, fungsi dan efek yang dihadirkan oleh film itu sendiri. Sedangkan dalam praktik sosial, film dilihat tidak hanya sekedar ekspresi seni dari pembuatnya, tetapi merupakan interaksi antar elemen-elemen pendukung, proses produksi, distribusi maupun eksebisinya, bahkan lebih jauh dari itu, perspektif ini mengasumsikan interaksi antara film dengan idelogi serta kebudayaan di mana film diproduksi dan dikonsumsi.

Teori Representasi
Teori representasi Stuart Hall memperlihatkan suatu proses di mana arti (meaning) diproduksi dengan menggunakan bahasa (language) dan dipertukarkan oleh antar anggota kelompok dalam sebuah kebudayaan (culture). Representasi menghubungkan antara konsep (concept) dalam benak kita dengan menggunakan bahasa yang memungkinkan kita untuk mengartikan benda, orang, kejadian yang nyata (real), dan dunia imajinasi dari objek, orang,  benda, dan kejadian yang tidak nyata (fictional) (Hall, 2003). 
Giles (1999:56-57) pada bab 3 dalam buku Studying Culture: A Practical Introduction, terdapat tiga definisi dari kata “represent”’ yakni:
1.    To stand in for. Hal ini dapat dicontohkan dalam peristiwa bendera suatu negara, yang jika dikibarkan dalam suatu event olahraga, maka bendera tersebut menandakan keberadaan negara yang bersangkutan dalam event tersebut.
2.    To speak or act on behalf of. Contohnya adalah Pemimpin menjadi orang yang berbicara dan bertindak atas nama rakyatnya.
3.    To re-present. Dalam arti ini, misalnya tulisan sejarah atau biografi yang dapat menghadirkan kembali kejadian-kejadian di masa lalu.

Dalam praktiknya, ketiga makna dari representasi ini bisa menjadi saling tumpang tindih. Teori yang dikemukakan oleh Hall sangat membantu dalam memahami lebih lanjut mengenai apa makna dari representasi dan bagaimana caranya beroperasi dalam masyarakat budaya. Hall dalam bukunya Representation: Cultural Representation and Signifyig Practices “Representation connects meaning and language to culture…. Representation is an essential part of the process by which meaning is produced and exchanged between members of culture[2].
Melalui representasi, suatu makna diproduksi dan dipertukarkan antar anggota masyarakat. Jadi dapat dikatakan bahwa, representasi secara singkat adalah salah satu cara untuk memproduksi makna. Representasi bekerja melalui sistem representasi yang terdiri dari dua komponen penting, yakni konsep dalam pikiran dan bahasa.
Kedua komponen ini saling berkorelasi. Konsep dari sesuatu hal yang dimiliki dan ada dalam pikiran, membuat manusia atau seseorang mengetahui makna dari sesuatu hal tersebut. Namun, makna tidak akan dapat dikomunikasikan tanpa bahasa, sebagai contoh sederhana, konsep ‘gelas’ dan mengetahui maknanya. Maka seseorang tidak akan dapat mengkomunisikan makna dari ‘gelas’ (benda yang digunakan orang untuk tempat minum) jika seseorang tidak dapat mengungkapkannya dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh orang lain.
Oleh karena itu, yang terpenting dalam sistem representasi adalah bahwa kelompok yang dapat berproduksi dan bertukar makna dengan baik adalah kelompok tertentu yang memiliki suatu latar belakang pengetahuan yang sama sehingga dapat menciptakan suatu pemahaman yang (hampir) sama. Berpikir dan merasa juga merupakan sistem representasi, sebagai sistem representasi berarti berpikir dan merasa juga berfungsi untuk memaknai sesuatu. Untuk dapat melakukan hal tersebut, diperlukan latar belakang pemahaman yang sama terhadap konsep, gambar, dan ide (cultural codes). Pemaknaan terhadap sesuatu bisa sangat berbeda dalam budaya atau kelompok masyarakat yang berlainan, karena pada masing-masing budaya, kelompok, dan masyarakat tersebut tentunya ada cara-cara tersendiri dalam memaknai sesuatu. Kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang pemahaman yang tidak sama terhadap kode-kode budaya tertentu tidak akan bisa memahami makna yang diproduksi oleh kelompok masyarakat lain.
Manusia mengkonstruksi makna dengan sangat tegas sehingga suatu makna bisa terlihat seolah-olah alamiah dan tidak dapat diubah. Makna dikonstruksi dengan sistem representasi melalui kode. Kode inilah yang membuat masyarakat berada dalam suatu komponen dan saling berelasi. Namun, makna tidak akan dapat dikomunikasikan tanpa bahasa.
Teori representasi seperti memakai pendekatan konstruksionis, yang berpendapat bahwa makna dikonstruksi melalui bahasa. Stuart Hall dalam artikelnya, “thigs dont’ mean: we construct meaning,  using representational system-concept and signs[3]. Oleh karena itu konsep dalam (pikiran) dan tanda (bahasa) menjadi bagian penting yang digunakan dalam proses konstruksi atau produksi makna. Sehingga dapat disimpulkan bahwa representasi adalah suatu proses untuk memproduksi makna dari konsep yang ada dipikiran kita melalui bahasa. Proses produksi makna tersebut dimungkinkan dengan hadirnya sistem representasi. Namun, proses pemaknaan tersebut tergantung pada latar belakang pengetahuan dan pemahaman suatu kelompok sosial terhadap suatu tanda. Suatu kelompok harus memiliki pengalaman yang sama untuk dapat memaknai sesuatu dengan cara yang nyaris sama.
Penggambaran ekspresi antara teks media dengan realitas sebenarnya sering menggunakan konsep representasi. Teks media dimaknai sebagai segala hal yang dikonstruksi untuk diekspresikan seperti pidato, puisi, program televisi, film, teori-teori hingga komposisi musik (Anderson, 2006: 288). Representasi adalah sebuah istilah yang merujuk pada cara di mana seseorang atau sesuatu dilukiskan dalam media. Dalam sebagian besar dalam kajian ini, representasi diteliti sebagai cara untuk mendasari pemaknaan sebuah teks (Bardwell, 1989: 10).
Representasi tidak hadir sampai setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian. Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya. Representasi merupakan hubungan antara konsep-konsep pikiran dan bahasa yang memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu obyek, realitas, atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa.
Jadi representasi merupakan proses di mana para anggota sebuah budaya menggunakan bahasa untuk memproduksi makna. Bahasa dalam hal ini didefinisikan secara lebih luas, yaitu sebagai sistem apapun  yang menggunakan tanda-tanda yang bisa berbentuk verbal maupun nonverbal. Pengertian tentang representasi tersebut memiliki makna asli atau tetap (the true meanings) yang melekat pada dirinya.
Pandangan alternatif mengenai hubungan media massa dan integrasi sosial juga beredar, berdasarkan karakter lain dari komunikasi massa. Komunikasi massa memiliki kapasitas untuk menyatukan individu yang tersebar  di dalam khalayak yang lebih besar, atau menyatukan pandangan baru ke dalam komunitas urban dan imigran ke dalam Negara baru dengan menyediakan seperangkat nilai, ide, dan informasi dan membantu membentuk identitas (Janowitz, 1952; Clark, 1969; Stamm, 1985; Rogers, 1993). Proses ini dapat membantu menyatukan masyarakat modern besar yang beragam, daripada proses lama yang melibatkan mekanisme agama, keluarga, atau kelompok kontrol. Dengan kata lain media massa pada prinsipnya mampu mendukung atau melemahkan kohesi sosial. Hal ini terlihat berlawanan dengan yang satu menekankan pada kecenderungan sentrifugal (centrifugal) sementara yang lainnya merupakan kecenderungan sentripetal (centripetal) walaupun nyatanya dalam masyarakat yang kompleks, kedua kekuatan tersebut bekerja pada saat yang bersamaan dan kecenderungan salah satu menyeimbangkan kecenderungan yang lain[4].





                             Pandangan Optimis
1                                          2
                  Kebebasan,                          Integrasi,
                  Keragaman                          Solidaritas

     Efek                                                                             Efek 
Sentrifugal                                                                 Sentripetal
          
    3                                          4
   Tidak Ada Norma,                   Dominasi,
Kehilangan Identitas              Keseragaman

                                              Pandangan pesimis
Gambar 2.3. Empat versi dampak komunikasi massa terhadap integrasi sosial
Sumber : Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa, Salemba Humanika; 2012:98)


Dari kedua kekuatan efek media massa tersebut, salah satu dimensi merujuk kepada arah : baik sentrifugal atau sentripetal.  Dimensi pertama yakni dimensi sentrifugal, merujuk pada rangsangan kepada perubahan sosial, kebebasan, individualisme, dan fragmentasi (fragmentation). Dimensi yang kedua yakni dimensi sentripetal, merujuk pada efek dalam bentuk persatuan, tatanan, kohesi, dan integrasi sosial. Baik integrasi maupun disitegrasi sosial dapat dinilai dengan cara yang berbeda, tergantung pada pilihan dan sudut pandang. Kontrol sosial yang diinginkan seseorang merupakan batasan kebebasan bagi orang lain: individualisme seseorang adalah isolasi bagi orang lain. Sehingga dimensi kedua dapat digambarkan sebagai normatif, terutama penilaian kedua kecenderungannya yang berlawanan dari kinerja media massa ini.
Dengan memaknai kondisi yang rumit ini, akan membantu untuk berfikir mengenai dua versi teori media—sentrifugal dan sentripetal—masing-masing dengan posisinya sendiri dalam dimensi evaluasi, sehingga dalam efek terdapat empat posisi teoretis berbeda yang berkaitan dengan integrasi sosial[5].
1.    Kebebasan, keragaman. Ini adalah versi optimis dari kecenderungan media yang memiliki efek perpecahan terhadap masyarakat yang juga membebaskan. Media menyebarkan ide dan informasi baru dan juga mendorong pergerakan perubahan, dan modernisasi.
2.    Integrasi, solidaritas. Versi optimis dari efek berlawanan komunikasi massa sebagai penyatu masyarakat, menekankan kebutuhan akan kepemilikan identitas, kebersamaan, dan kewarganegaraan, terutama pada kondisi perubahan social.
3.    Tidak ada norma, kehilangan identitas. Pandangan pesimis dari kebabasan yang luas akan menimbulkan perpecahaan, kehilangana keyakinan, tercerabut dari masyarakat, dan kehilangan kohesi serta modal sosial.
4.    Dominasi, keseragaman. Masyarakat dapat menjadi terlalu terintegrasi dan terlalu teratur, mendorong pada pengawasan dan konformitas pusat dengan media massa sebagai alat yang melakukannya[6].



[1] Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa, Salemba Humanika, 2012. Hal 13-14
[2] Stuart Hall. “The Work of Representation”. Representation: Cultural Representation and signifying Practices. Ed. Stuart Hall. London. Sage Publication, 2003. Hal 17.
[3] Ibid., Hal 25
[4] Dennis McQuail, Teori Komunikasi Massa, Salemba Humanika, Jakarta, 2012, Hal. 98.
[5] Ibid, Hal. 99
[6] OpCit, Hal. 99-100

1 comment:

  1. sorry kalo boleh tau Ibid itu buku apa ya?

    ReplyDelete


perjalanan